Apakah Ibadah Haji Atau Umrah Diterima Ketika Menggunakan Uang Yang Tidak Halal?

Ibadah haji adalah rukun Islam kelima dan menjadi impian seumur hidup bagi jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Perjalanan suci ini menuntut kesiapan spiritual, fisik, dan tentu saja, finansial. Namun, muncul sebuah pertanyaan krusial di tengah masyarakat:

bagaimana hukumnya jika seseorang menunaikan ibadah haji atau umrah menggunakan dana yang berasal dari sumber yang tidak halal?

Membedakan Antara “Sah” dan “Pahala”

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita perlu memahami dua konsep yang berbeda dalam fikih (yurisprudensi Islam):

  1. Sah (Valid): Sebuah ibadah dikatakan sah apabila seluruh syarat (ketentuan) dan rukunnya (pilar-pilar utama) telah terpenuhi secara lahiriah. Sahnya sebuah ibadah berarti kewajiban seseorang atas ibadah tersebut telah gugur.
  2. Pahala (Diterima/Mabrur): Ini adalah ganjaran atau ridha dari Allah SWT atas ibadah yang dilakukan. Diterimanya sebuah amalan sangat bergantung pada niat yang ikhlas dan cara yang diridhai oleh Allah, termasuk sumber dana yang digunakan.

Status Hukum Haji dengan Uang Haram

Berdasarkan pembedaan di atas, hukum haji dengan uang haram dapat diperinci sebagai berikut:

1. Ibadahnya Dianggap Sah, Kewajiban Telah Gugur

Menurut pandangan mayoritas ulama, jika seorang Muslim melaksanakan seluruh rangkaian manasik haji—mulai dari ihram, wukuf di Arafah, tawaf, sa’i, hingga tahallul—sesuai dengan aturan yang ditetapkan, maka ibadah hajinya secara fikih dianggap sah. Konsekuensinya, kewajiban seumur hidupnya untuk menunaikan haji telah terpenuhi atau gugur. Ia tidak lagi dituntut untuk berhaji di kemudian hari.

2. Tidak Mendapatkan Pahala Haji Mabrur

Inilah poin krusialnya. Meskipun ibadahnya sah, orang tersebut tidak mendapatkan pahala dari ibadah hajinya. Hajinya tidak tergolong sebagai haji yang mabrur, yaitu haji yang diterima dan diberkahi oleh Allah SWT. Hal ini karena Allah Maha Baik dan hanya menerima yang baik (halal). Menggunakan harta haram untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah sebuah kontradiksi yang menodai kesucian ibadah.

Meski begitu, ia masih berpeluang mendapatkan pahala dari amalan-amalan lain yang dilakukannya selama di Tanah Suci, seperti zikir, membaca Al-Qur’an (tilawah), atau menolong sesama jamaah, selama amalan tersebut tidak terkait langsung dengan penggunaan dana haram.

Landasan Dalil dari Hadis Nabi

Pandangan ini diperkuat oleh sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam At-Tabrani dalam kitabnya Al-Mu’jam al-Kabiir. Rasulullah SAW bersabda:

“Apabila seseorang keluar untuk berhaji dengan nafkah (bekal) yang haram (khabitsah), lalu ia meletakkan kakinya di atas kendaraan dan mengucap, ‘Labbaik Allahumma labbaik’ (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah), maka seorang penyeru dari langit akan berseru: ‘Laa labbaika wa laa sa’daik’ (Tidak ada labbaik untukmu dan tidak ada kebahagiaan untukmu). Bekalmu haram, nafkahmu haram, dan hajimu tidak mabrur (tidak diterima).

Hadis ini secara gamblang melukiskan penolakan dari sisi Allah terhadap ibadah yang dibiayai dengan cara yang batil, sekalipun secara fisik ritualnya telah dilaksanakan.

Kesimpulan

Menunaikan ibadah haji dengan dana dari sumber yang haram menempatkan pelakunya dalam posisi yang sangat merugi. Secara hukum duniawi, kewajibannya mungkin telah gugur, tetapi tujuan utama dari setiap ibadah—yaitu meraih pahala dan keridhaan Allah—justru tidak tercapai.

Pelajaran penting dari pembahasan ini adalah seruan untuk senantiasa memastikan kesucian dan kehalalan harta yang kita gunakan, terutama untuk tujuan ibadah. Karena sesungguhnya, kualitas sebuah amalan tidak hanya diukur dari ritual yang tampak, tetapi juga dari kebersihan niat dan sumber yang melandasinya.

Baca juga:
Layanan kami