Pulang Umrah Tapi Jiwa Masih di Ka’bah
Ada satu hal yang tak terucap namun begitu nyata bagi mereka yang baru saja pulang dari
Tanah Suci: tubuh boleh saja sudah kembali ke rumah, tapi hati masih tertambat erat di
pelataran Ka’bah. Perasaan ini bukan sesuatu yang dibuat-buat. Ia hadir begitu saja, tanpa
aba-aba, sebagai bukti bahwa perjalanan Umrah bukan sekadar safar fisik, melainkan
perjalanan ruh yang dalam.
Selama di tanah haram, banyak yang merasakan ketenangan yang tak ditemukan di tempat
lain. Hati menjadi lunak, doa mengalir tanpa paksaan, dan tangis jatuh begitu saja. Seolah
olah, semua lapisan dunia yang selama ini membungkus kita—kesibukan, kekhawatiran,
ambisi—terlepas satu per satu, dan yang tersisa hanyalah diri kita dan Allah.
Ketika tawaf dilakukan, bukan hanya kaki yang berputar mengelilingi Ka’bah, tetapi hati pun
ikut berputar, membersihkan sisa-sisa kelalaian yang selama ini melekat. Dalam doa, kita tak
lagi sibuk meminta dunia, melainkan memohon agar Allah menghidupkan kembali ruh yang
lama tertidur. Semua itu membuat hati merasa benar-benar “pulang”—bukan ke kampung
halaman, tapi ke asal mula fitrah.
Namun begitu kaki menginjak tanah air, muncul kehampaan yang tak bisa dijelaskan.
Rutinitas kembali menyita perhatian, dunia kembali bersuara keras. Tapi kini, ada satu bagian
dari diri yang tidak lagi sama. Ada semacam sensitivitas ruhani yang baru tumbuh, dan ia
terus menarik kita untuk tidak kembali menjadi pribadi yang lama.
Mereka yang pulang dari Umrah dengan jiwa yang tersentuh, biasanya membawa oleh-oleh
yang tak bisa dibungkus: kesadaran. Bahwa hidup ini bukan sekadar bekerja, memenuhi
target, atau menyenangkan orang lain. Tapi juga tentang kembali menyambung hubungan
dengan Pencipta, tentang menenangkan hati di tengah riuhnya dunia, tentang memperbaiki
arah hidup yang sempat salah belok.
Dan justru dari sanalah muncul kerinduan baru: bukan hanya ingin kembali ke Ka’bah, tetapi
ingin kembali menjadi hamba yang lebih utuh. Maka tak heran bila banyak orang yang
bahkan setelah pulang justru merencanakan keberangkatan berikutnya. Ada rasa yang belum
tuntas. Ada cinta yang belum selesai. Karena hati yang pernah benar-benar bertemu dengan
Tuhan, akan selalu ingin dekat lagi dan lagi.
Bagi yang belum sempat ke sana, jangan dulu berkecil hati. Terkadang, panggilan itu dimulai
dari kerinduan yang tumbuh tanpa sebab. Jika kamu merasa tersentuh hanya dengan melihat
Ka’bah dari layar, atau merasa gemetar saat mendengar kisah Umrah orang lain—bisa jadi itu
adalah sinyal. Allah sedang mengetuk hatimu pelan-pelan.
Dan ketika waktunya tiba, pilihlah perjalanan yang tidak hanya membawa tubuhmu ke sana,
tapi juga menuntun hatimu dalam setiap langkah. Salah satu yang punya visi seperti ini
adalah Rehlata Tour. Bukan hanya tentang fasilitas dan jadwal, tapi tentang cara mereka
memosisikan perjalanan ini sebagai pengalaman spiritual, bukan sekadar wisata religi.
Banyak yang pulang dari sana, bukan hanya dengan koper yang penuh, tapi dengan hati yang
terasa lebih ringan dan bersih.
Pada akhirnya, Umrah bukan penutup. Ia adalah pembuka. Karena bagi jiwa yang pernah
menyentuh Ka’bah, dunia tak akan lagi terasa sama. Dan rindu itu… akan terus tumbuh,
karena Allah telah mengizinkan kita merasakan manisnya kembali.