Apa Hukum Haji Tapi dengan Kouta Tidak Resmi?
Setiap tahun, antusiasme umat Islam untuk menunaikan ibadah haji ke Baitullah sangatlah tinggi. Namun, keterbatasan kuota resmi yang ditetapkan oleh pemerintah seringkali menciptakan daftar tunggu yang sangat panjang. Kondisi ini mendorong sebagian orang untuk mencari jalan alternatif, termasuk berangkat haji tanpa melalui jalur resmi atau kuota yang telah ditetapkan.
Fenomena ini memunculkan sebuah pertanyaan penting di tengah masyarakat: Bagaimanakah status hukum haji yang dilaksanakan dengan cara tersebut? Apakah ibadahnya diterima dan sah, atau justru sebaliknya?
Berdasarkan penjelasan yang merujuk pada pandangan Markazul Azhar Al-Alami lil Fatwa, persoalan ini perlu ditinjau dari dua sisi yang berbeda untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif.
1. Tinjauan dari Sisi Keabsahan Ibadah Haji
Dari sudut pandang fikih, sah atau tidaknya sebuah ibadah haji bergantung pada terpenuhinya rukun, syarat, dan kewajiban haji itu sendiri. Hal ini mencakup niat ihram, wukuf di Arafah, tawaf, sa’i, dan rukun-rukun lainnya.
Jika seorang jemaah haji, meskipun berangkat melalui jalur tidak resmi, mampu melaksanakan seluruh rukun dan kewajiban haji dengan sempurna sesuai syariat, maka ibadah hajinya dianggap sah. Dengan terpenuhinya syarat tersebut, ia telah menggugurkan kewajiban haji yang menjadi tanggungannya sebagai seorang Muslim yang mampu.
2. Tinjauan dari Sisi Pelanggaran Peraturan
Meskipun ibadahnya bisa dianggap sah, ada aspek lain yang tidak bisa diabaikan, yaitu pelanggaran terhadap peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (ulil amri). Dengan menempuh jalur tidak resmi, seseorang telah melakukan beberapa pelanggaran:
- Melanggar Peraturan Negara: Tidak mematuhi hukum dan regulasi yang dibuat untuk ketertiban dan kemaslahatan bersama.
- Mengambil Hak Orang Lain: Menyerobot antrean jemaah lain yang telah sabar menunggu giliran mereka selama bertahun-tahun sesuai prosedur resmi.
- Menimbulkan Potensi Kekacauan: Keberadaan jemaah tidak resmi dapat mengganggu kelancaran proses ibadah haji secara keseluruhan, yang telah diatur sedemikian rupa untuk kenyamanan dan keamanan semua jemaah.
Karena tindakan-tindakan ini, pelaku akan mendapatkan dosa. Terjadi sebuah paradoks di mana di satu sisi ia mendapatkan pahala karena telah menunaikan rukun Islam, namun di sisi lain ia juga menanggung dosa akibat cara yang ditempuhnya.
Ibadah haji pada hakikatnya adalah perjalanan spiritual untuk membersihkan hati dan menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs). Tujuannya adalah kembali dalam keadaan suci, bukan untuk menambah catatan dosa atau kemaksiatan dengan cara-cara yang merugikan orang lain dan melanggar aturan.
Oleh karena itu, meskipun hajinya mungkin sah secara ritual, perbuatan menempuh jalur tidak resmi sangat tidak dianjurkan karena mencederai esensi dari ibadah haji itu sendiri. Alangkah baiknya jika niat suci untuk beribadah diiringi dengan cara yang benar dan penuh kesabaran, seraya terus berdoa agar Allah SWT memberikan kemudahan dan kesempatan untuk berangkat ke Baitullah melalui jalan yang diridai.