Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang menjadi dambaan setiap Muslim di seluruh dunia. Perintah untuk melaksanakannya diwajibkan bagi mereka yang telah memiliki kemampuan (istitha’ah), baik dari segi finansial, fisik, maupun keamanan dalam perjalanan.

Namun, sebuah pertanyaan yang sering muncul di tengah masyarakat adalah: apakah boleh seseorang yang sudah mampu secara finansial dan fisik menunda keberangkatannya ke Tanah Suci?

Persoalan ini telah menjadi bahan diskusi di kalangan para ulama fikih sejak dahulu. Terdapat perbedaan pandangan yang penting untuk dipahami, yang pada akhirnya mengarah pada sebuah kesimpulan yang lebih kuat dan dianjurkan untuk diikuti.

Pendapat yang Membolehkan Penundaan

Sebagian ulama, termasuk salah satu pandangan yang dinukil dari Imam An-Nawawi dalam kitabnya yang monumental, Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, menyatakan bahwa menunda ibadah haji hukumnya boleh. Artinya, kewajiban haji tidak harus disegerakan pada tahun pertama saat kemampuan itu datang (tidak bersifat faur).

Dalil utama yang menjadi sandaran pendapat ini adalah tindakan Nabi Muhammad SAW sendiri. Sejarah mencatat bahwa perintah untuk melaksanakan ibadah haji turun pada tahun ke-6 Hijriah, namun Rasulullah SAW baru menunaikan Haji Wada’ (haji perpisahan) pada tahun ke-10 Hijriah. Adanya jeda waktu antara turunnya perintah dan pelaksanaannya oleh Nabi ini dijadikan sebagai argumen bahwa penundaan haji tidaklah dilarang.

Sanggahan dan Pandangan Kewajiban untuk Menyegerakan

Meskipun dalil di atas terlihat kuat, pendapat tersebut mendapat sanggahan dari mayoritas ulama. Mereka berpendapat bahwa tindakan Nabi Muhammad SAW menunda haji bukanlah tanpa alasan. Sejak tahun ke-6 hingga ke-9 Hijriah, terdapat berbagai uzur (halangan) yang syar’i.

Nabi SAW baru melaksanakan haji setelah Makkah ditaklukkan (Fathu Makkah) dan Ka’bah disucikan dari berhala-berhala. Dengan demikian, penundaan yang dilakukan oleh Nabi memiliki alasan yang jelas dan dapat dibenarkan. Oleh karena itu, tindakan beliau tidak bisa dijadikan sebagai dalil umum untuk membolehkan seseorang menunda haji tanpa adanya uzur.

Kesimpulan: Pendapat yang Paling Benar (Ashah) dan Konsekuensinya

Berdasarkan pertimbangan di atas, pendapat yang dianggap paling kuat (ashah) dan menjadi pegangan mayoritas ulama adalah wajib untuk menyegerakan ibadah haji begitu seseorang telah memiliki kemampuan. Menunda-nunda tanpa alasan yang dibenarkan adalah perbuatan yang tercela dan berisiko besar.

Konsekuensinya sangat serius. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Raudhatut Thalibin, yang juga merupakan karya Imam An-Nawawi, jika seseorang yang mampu dan tidak memiliki uzur terus menunda kewajiban hajinya, hingga suatu saat ia meninggal dunia atau kehilangan kemampuannya (misalnya jatuh sakit atau miskin), maka ia dianggap berdosa. Ia wafat dalam keadaan menanggung utang kewajiban kepada Allah SWT yang belum ia tunaikan.

Ketidakpastian hidup—kesehatan yang bisa menurun, harta yang bisa hilang, dan ajal yang bisa datang kapan saja—menjadi alasan utama mengapa menyegerakan haji adalah pilihan yang paling bijak dan aman. Dengan bersegera, seorang Muslim tidak hanya menggugurkan kewajibannya, tetapi juga menghindari risiko meninggal dalam keadaan lalai terhadap salah satu pilar agamanya yang paling agung.

Kunjungi :
Layanan kami

Kategori: Berita