Masjidil Haram di Mekkah dan Masjid Nabawi di Madinah adalah dua tempat suci paling utama dalam Islam. Keduanya menjadi tempat berkumpulnya jutaan umat Islam dari seluruh dunia.
Dalam kondisi seperti ini, tak jarang burung-burung seperti merpati beterbangan dan meninggalkan kotoran di lantai atau bangunan masjid. Lalu, bagaimana hukum kotoran burung yang jatuh di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi menurut empat mazhab besar dalam Islam?
Fenomena Kotoran Burung di Tanah Suci
Burung-burung di dua masjid suci ini tidak hanya menjadi pemandangan umum, tetapi juga bagian dari ekosistem alamiah tempat suci. Mereka hidup bebas, dan kotorannya bisa saja mengenai pakaian, sajadah, atau lantai masjid. Maka, penting untuk mengetahui apakah kotoran burung termasuk najis atau tidak menurut pandangan fiqih.
Pendapat Ulama Empat Mazhab
1. Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, kotoran burung yang tidak biasa dimakan dagingnya adalah najis.
Namun, jika burung itu termasuk yang halal dimakan (seperti merpati, ayam, burung puyuh), maka kotorannya tidak najis.
Dalil:
Mazhab ini berdalil dengan qiyas kepada hewan ternak, bahwa apa yang halal dimakan, maka kotorannya suci.
“كل ما يؤكل لحمه فبوله وروثه طاهر عند أبي حنيفة”
Segala hewan yang halal dagingnya, maka air kencing dan kotorannya adalah suci menurut”
“ AbuHanifah
Jadi, karena merpati termasuk burung yang halal dimakan, maka kotorannya dianggap suci menurut Hanafi.
2. Mazhab Maliki
Mazhab Maliki memiliki pendapat yang paling longgar. Mereka menyatakan bahwa semua kotoran hewan yang tidak mengalir darahnya saat disembelih termasuk burung adalah suci, selama tidak terbukti membawa najis yang membahayakan.
Dalil:
Mazhab ini berdalil dengan kemudahan dan kelaziman (’umum al-balwa), yaitu tidak mungkin menghindari kotoran burung di tempat terbuka seperti masjid.
“النجاسات يُعفى عن يسيرها إذا كانت مما تعمّ به البلوى”
Najis dimaafkan jika sedikit dan sulit dihindari karena umum terjadi
3. Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa kotoran semua hewan termasuk burung adalah najis, baik yang halal maupun yang tidak halal dimakan.
Dalil:
Mazhab ini menggunakan dalil umum dari hadis Nabi:
“استنزهوا من البول، فإن عامة عذاب القبر منه.”
Bersucilah kalian dari kencing, karena kebanyakan azab kubur berasal darinya”
HR. al-Hakim, Ibnu Majah
Walaupun hadis ini berbicara tentang air kencing manusia, tetapi ditarik sebagai qiyas terhadap kotoran hewan, bahwa semua kotoran adalah najis kecuali ada dalil pengecualian.
Jadi, menurut Syafi’i, jika kotoran burung mengenai pakaian atau tempat shalat, maka wajib dibersihkan sebelum shalat.
4. Mazhab Hanbali
Menurut mazhab Hanbali, kotoran burung yang halal dimakan dagingnya adalah suci, dan yang tidak halal adalah najis.
Dalil:
Berdasarkan qiyas kepada hewan ternak seperti kambing dan ayam, karena burung-burung tersebut bisa disembelih dan dimakan secara halal, maka kotorannya dimaafkan dan dianggap suci.
Hanbali juga memandang bahwa kesulitan menghindari kotoran burung di tempat umum menjadi faktor pemaaf (’udzur syar’i).
Kesimpulan Praktis di Masjidil Haram dan Nabawi
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah tempat mulia yang dijaga kesuciannya, namun Islam adalah agama yang juga realistis terhadap kondisi alam. Dalam hal kotoran burung, mayoritas ulama dari mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganggapnya suci jika berasal dari burung yang halal dimakan, sedangkan Syafi’i tetap mewajibkan pembersihan.
Karena burung-burung seperti merpati di Masjidil Haram dan Nabawi termasuk burung halal dimakan, maka:
- Menurut Hanafi, Maliki, dan Hanbali, kotorannya tidak najis, dan tidak membatalkan kesucian tempat atau pakaian shalat.
- Menurut Syafi’i, kotoran burung tetap najis, dan jika terkena, wajib dibersihkan sebelum shalat.
Namun, dalam kondisi darurat atau sulit dihindari, banyak ulama Syafi’i memaafkan najis sedikit yang tidak disengaja, apalagi dalam suasana tempat suci yang ramai.
Hikmahnya, kita diajarkan untuk menjaga kebersihan, tetapi juga tidak mempersulit diri dalam hal yang sulit dihindari.