Sejarah Dan Perkembangan Ibaah Haji
badah haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan oleh setiap umat Muslim yang mampu, baik secara fisik maupun finansial. Secara bahasa, kata haji berasal dari bahasa Arab “al-hajj” yang berarti mengunjungi atau menyengaja sesuatu. Sedangkan menurut syariat, haji berarti menyengaja mengunjungi Baitullah untuk melaksanakan ibadah tertentu.
Perintah melaksanakan haji terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 97:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًاۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًاۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ ٩٧
“Di dalamnya terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) Maqam Ibrahim. Siapa yang memasukinya (Baitullah), maka amanlah dia. (Di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Siapa yang mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu pun) dari seluruh alam.” (QS. Ali Imran: 97)
Menurut sejarah, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan haji pada tahun ke-6 Hijriah (628 M). Namun, saat itu kaum Muslimin dihalangi oleh kaum Quraisy untuk menunaikan ibadah haji. Barulah pada tahun ke-8 Hijriah (630 M), setelah peristiwa Fathu Makkah (Penaklukan Mekkah), umat Islam dapat melaksanakan ibadah haji secara bebas.
Namun tahukah kalian, bahwa praktik ibadah haji telah ada sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus? Terdapat beberapa riwayat mengenai asal-usul ibadah haji. Salah satu riwayat menyebutkan bahwa haji bermula dari Nabi Adam AS, yang melakukan perjalanan kaki dari India ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji.
Riwayat lain menyebutkan bahwa haji bermula dari Nabi Ibrahim AS. Ia diperintahkan oleh Allah SWT untuk membangun Ka’bah sebagai tempat ibadah yang akan dikunjungi umat manusia. Bersama putranya, Nabi Ismail AS, Nabi Ibrahim membangun Ka’bah, dan setelah selesai, keduanya melaksanakan praktik ibadah haji di sekitar Ka’bah, termasuk tawaf.
Dalam perkembangannya, ibadah haji sempat mengalami penyimpangan pada masa jahiliyah. Ibadah yang seharusnya menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, justru digunakan untuk menyekutukan-Nya dan melakukan kemaksiatan. Salah satu bentuk penyimpangan tersebut terlihat dalam lafaz talbiyah yang mereka ucapkan:
“Labbaik Allahumma labbaik. Labbaika la syarika laka illa syarikan huwa laka.”
(Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang Engkau miliki.”)
Talbiyah ini menunjukkan adanya unsur syirik, karena mereka menyekutukan Allah.
Nabi Muhammad ﷺ kemudian datang membawa ajaran Islam untuk meluruskan serta menyempurnakan praktik ibadah haji yang telah disusupi oleh berbagai penyimpangan.
Menunaikan ibadah haji bukan semata-mata pemenuhan kewajiban, tetapi juga sarana untuk menanamkan nilai-nilai ketaatan, persatuan, pengorbanan, dan kesabaran. Semoga setiap Muslim yang berniat menunaikan ibadah haji diberi kemudahan, kelancaran, serta memperoleh haji yang mabrur.