Solusi Batal Wudhu Disaat Thawaf dan Sulit Mengambil Wudhu Lagi
Melaksanakan tawaf, mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali, adalah salah satu rukun utama dalam ibadah haji dan umrah. Namun, satu kekhawatiran yang sering menghantui para jamaah adalah bagaimana jika wudhu batal di tengah-tengah prosesi tawaf, terutama saat lautan manusia membuat sulit untuk keluar dari barisan.
Kondisi ini menjadi semakin pelik ketika seseorang sedang menemani orang tua yang sudah sepuh atau lemah. Haruskah ia membatalkan tawaf, menembus kerumunan, dan mengulang semuanya dari awal?
Hukum Dasar: Bersuci adalah Syarat Sah Tawaf
Buya Yahya pertama-tama menegaskan prinsip dasar yang telah menjadi kesepakatan mayoritas ulama (jumhur ulama): bersuci dari hadas kecil (memiliki wudhu) adalah syarat sahnya tawaf.
“Sudah menjadi kesepakatan bahwa bersuci adalah sebuah keharusan [untuk tawaf]. Maka kalau batal wudhu, ya kita harus berwudhu lagi,” terang Buya Yahya.
Prinsip ini tidak berubah meskipun seseorang berada di tengah keramaian atau sedang membawa tanggung jawab mendampingi orang lain.
Kunci Solusi: Analisis Penyebab Batalnya Wudhu
Solusi cerdas yang ditawarkan Buya Yahya bukanlah dengan menyepelekan syarat suci tersebut. Sebaliknya, kuncinya terletak pada identifikasi dan analisis penyebab batalnya wudhu. Menurut beliau, penyebab batalnya wudhu terbagi menjadi dua kategori, dan pemahaman ini membuka pintu kemudahan.
1. Penyebab yang Disepakati Seluruh Mazhab (Muttafaq ‘Alaih)
Jika penyebab batalnya wudhu adalah hal-hal yang disepakati oleh seluruh mazhab seperti buang air kecil, buang air besar, atau buang angin (kentut) maka tidak ada jalan lain. Wajib keluar dari area tawaf untuk berwudhu kembali dan melanjutkan putaran tawafnya.
“Kalau itu yang membatalkan dan disepakati para ulama, ya sudah harus batal [tawafnya dan wudhu lagi],” tegas Buya Yahya.
2. Penyebab yang Diperselisihkan Ulama (Khilafiyah)
Di sinilah letak kemudahan dan solusi yang sangat relevan bagi jamaah. Jika penyebab batalnya wudhu adalah perkara yang diperselisihkan (khilafiyah) di antara para ulama, maka seseorang boleh mengambil pendapat mazhab lain yang lebih ringan dalam kondisi sulit (masyaqqah).
Contoh paling umum adalah bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Menurut Mazhab Syafi’i, hal ini membatalkan wudhu. Namun menurut mazhab lain, seperti Mazhab Hanafi atau Maliki, sentuhan semata tidak membatalkan wudhu.
“Maka masih ada kemudahan kita mengambil pendapat lain karena kita dalam tawaf susah. Ikut pendapat yang mengatakan tidak membatalkan wudhu, sehingga bisa saja melanjutkan tawaf,” jelas Buya Yahya.
Dalam keadaan darurat dan sulit di tengah tawaf, seorang pengikut Mazhab Syafi’i diperbolehkan untuk beralih (taqlid) sementara ke pendapat mazhab lain dalam masalah ini, sehingga ia tidak perlu mengulang wudhunya dan bisa meneruskan ibadah tawafnya dengan sah.
Jadi, solusi ketika wudhu batal saat tawaf bukanlah dengan mengabaikan hukum, melainkan dengan memahami keluasan dan fleksibilitas dalam fiqih Islam.
- Identifikasi penyebabnya. Jika itu adalah hal yang disepakati membatalkan (seperti buang angin), maka wajib berwudhu ulang.
- Ambil kemudahan jika memungkinkan. Jika penyebabnya adalah hal khilafiyah (seperti bersentuhan kulit), maka dalam kondisi sulit saat tawaf, Anda boleh mengikuti pendapat mazhab lain yang menyatakan tidak batal.
Penjelasan dari Buya Yahya ini memberikan ketenangan dan menunjukkan bahwa syariat Islam tidak bertujuan untuk memberatkan umatnya, terutama dalam situasi-situasi yang berada di luar kendali seperti kepadatan jamaah saat haji dan umrah.
Umrah bersama rehlata
Layanan kami